Suatu proses pencarian yang teramat sulit juga untuk mencari sumber yang mampu mengatakan bahwa Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit adalah dua kerajaan yang bersahabat dan rukun.
Berulangkali searching dengan menggunakan keywords bermacam-macam
seperti: persahabatan kerajaan Majapahit dan Sunda, Persahabatan
kerajaan Sunda dan Majapahit masa Gajah Mada dan Hayam Wuruk,
Persahabatan raja Majapahit Hayam Wuruk dengan raja Sunda Lingga Buana
dan lain sebagainya.
Kenyataannya semua hasil mengatakan hal yang sama, dengan kata lain “tidak bersahabat”, terjadi perselisishan alias permusuhan.
Tetapi kalau dimasukan keywords seperti: Perang Bubat, Perang
antara Majapahit dan Sunda, dan lain sebagainya yang mengarah ke perang
Bubat, hasilnya hampir serentak semua link url atau situs web mengatakan
hal sama yaitu ada perang Bubat, ada perselisihan dan permusuhan dengan
berbagai versinya.
Sumber-sumber utama yaitu kitab Pararaton dan kitab Kidung Sunda
yang mengarah kepada kisah Ken Arok, terjadinya peristiwa perang Bubat
dan Sumpah Palapa, secara sendirinya adalah sumber-sumber yang sudah
tidak bisa dipercaya lagi sebagai sumber sejarah, dengan kata lain
sumber-sumber itu adalah sumber yang direkayasa demi suatu kepentingan,
yang akhirnya terjadi pembelokan arah sejarah.
Lantas pola hubungan seperti apa yang diterapkan antara dua
kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda, yang masa
pemerintahan untuk kerajaan Majapahit dipimpin oleh Sri Rajasanagara
(Hayam Wuruk versi kitab Pararaton) dengan Maha Patih Gajah Mada? Inilah
pertanyaan yang harus ada jawaban sebagai korelasinya dan jawaban itu
harus ada, kalau tidak pernyataan “kebohongan sejarah” itu tetap tidak
kuat.
Penyidikan suatu perkara hukum, selalu dalam langkah awalnya adalah
mencari barang bukti, yang kemudian dipelajari, dianalisa dan
dikembangkan. Berdasarkan barang bukti itulah penyidikan lebih lanjut
dapat dilakukan.
Bukti sejarah yang ada adalah untuk perkara ini tiada lain adalah
berupa prasasti-prasasti dan beberapa kitab yang tingkat kepercayaannya
akan kebenarannya masih tinggi, atau sumber sejarah yang masih relevan.
Prasasti-prasati yang ditemukan, hampir semuanya tidak bisa memberikan
informasi tentang hal itu. Bukti sejarah berikutnya adalah dicoba dengan
mempelajari lagi satu kitab yaitu kitab Negara Kertagama. Kitab Negara
Kertagama inilah yang menjadi harapan satu-satunya bagi penulis untuk
dapat memberikan informasi walaupun tidak gamblang.
Setelah dipelajari seksama dari hasil terjemahan kitab Negara Kertagama, akhirnya didapat petikan sebagai berikut :
“Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk
menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta. Kemudian akan
diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi,
Palembang, Toba dan Darmasraya.Pun ikut juga disebut Daerah Kandis,
Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta
Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang Lawas dengan Samudra
serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus.
Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk.
Negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota
Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa,
Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot
dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano
tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut
Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar,
Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah
lama terhimpun.
Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang
penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi
dan Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau
Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah.
Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantayan di
wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai Udamakatraya dan pulau
lain-lainnya tunduk. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi,
Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula anda(n),
Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi
pulau-pulau lain.
Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam
dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga
Singasagari Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat. Pulau Madura
tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan
Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim tertentu
mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah
kebahagiaan.
Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara.
Dilarang mengabaikan urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya,
jika mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa,
menolak ajaran sesat. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata
dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak
tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran
Buda.”
Petikan diatas memberkan informasi lengkap tentang negara-negara
yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit yang memang mewakili
istilah nusantara yang didengung-dengukan itu, tidak seperti Sumpah
Palapa yang tidak mewakili aspek keseluruhan yang dikatakan nusantara.
Bisa jadi Sumpah Palapa itu sendiri adalah bentuk pengkerdilan istilah
Nusantara itu sendiri, bisa jadi juga ini lemparan wacana ke publik
dengan tujuan pro kontra mengenai istilah nusantara dengan hanya memakai
simbolisasi Sumpah Palapa, yang akhirnya diharapkan terjadi keraguan
terhadap kebesaran istilah nusantara tersebut.
Petikan diatas juga, memberikan informasi yang penuh diharapkan
sebagai pernyataan yang mencurigakan, diberikan tanda cetakan tebal
supaya lebih fokus yaitu:
“Yawana ialah negara sahabat. Pulau Madura tidak dipandang negara
asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa
dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”
Merujuk pada keterangan kitab Negara Kertagama itu bahwa banyak
negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain yang secara otomatis takluk
dan berinduk ke kerajaan Majapahit, tidak harus melalui proses
peperangan besar.
Dalam catatan sejarah resmi, untuk kerajaan Majapahit, hanya
teridentifikasi melakukan beberapa kali peperangan, perang terbesar
adalah dengan kerajaan di Pulau Bali, kemudian perang menumpas
pemberontakan kerajaan Sadeng dan Keta. Tiga kerajaan ini nota bene
adalah kerajaan-kerajaan yang secara historis atau sejarah pendiriannya
mulai kerajaan Tumapel masa pemerintahan Sri Rajasa Sang Amurwabhumi
alias Ken Arok (versi kitab Pararaton sampai ke Sri Kertanegara,
kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit mulai
dari Raden Wijaya sampai Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk (versi kitab
Pararaton) adalah masih termasuk kerajaan-kerajaan bawahan.
Wajar dan memang seharusnya kalau peperangan itu dilakukan, untuk
menjaga keutuhan, kewibawaan, persatuan dan kesatuan serta nama baik
kerajaan, setidaknya ada alasan perang yang mendasar dan sah secara
hukum kenegaraan.
Tetapi negara-negara lain, bisa secepat itu takluk, menginduk dan
mengakui kerajaan Majapahit yang memegang kontrol atas mereka. Hal ini
dikarenakan, apa yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit adalah sebagai
pencetus atau pelopor idea penggabungan kekuatan, dengan membentuk
aliasi dengan negara-negra lainya, tujuannya dalam rangka menjaga
apabila suatu saat ada invasi dari kekaisaran Mongol untuk kedua
kalinya.
Percobaan invasi pertama, ketika kerajaan Singhasari atau Tumapel
dibawah kendali Jayakatwang yang merebut kekuasaan secara paksa dari
penguasa sah Sri Kertanegara. Tentara Mongol sempat menguasai ibu kota
kerajaan, tapi tidak lama berselang bisa diusir kembali oleh pasukan
tentara yang dipimpin Raden Wijaya, raja pertama Majapahit menantu dari
Sri Kertanegara.
Mengapa pula dengan skala waktu yang tidak terlalu lama nusantara
bisa terbentuk? Jawabanya adalah teori musuh bersama. Umpan nilai
psikologis inilah yang merupakan senjata ampuh dalam propaganda ide
aliansi yang dimotori oleh kerajaan Majapahit, jadi tidak lagi harus
bersusah-susah melakukan perang. Ketika negara-negara dalam aliansi itu
sudah terbentuk, katakanlah dengan beberapa negara besar yang sudah
bergabung, untuk mengembangkannya lebih mudah ke arah pemekaran yang
lebih luas.
Ide aliansi inilah yang merupakan cikal bakal terbentuknya
nusantara, dan ini ide sangatlah brilian, terlebih didukung oleh situasi
yang ada, yaitu ada musuh bersama yang nyata didepan mata. Musuh
bersama itu tiada lain adalah pasukan besar kekaisaran Mongol.
Secara fakta pertahan, sebuah aliansi harus ada negara pengontrol,
pemimpin bagi yang lainya dan kerajaan Majapahit-lah yang cocok dan
memenuhi syarat. Majapahit adalah negara adidaya di nusantara selain
Kerajaan Sunda pada masa itu. Karena Kerajaan Sriwijaya tidak lagi
termasuk negara adidaya dengan alasan keberadaannya sudah melemah, yang
sebelumnya mengalami masa-masa penjajahan dari kerajaan Chola, India.
Penyidikan dilanjutkan lagi. Sekarang pertanyaan yang timbul adalah
Yawana itu kerajaan mana? Tidak dijelaskan identitasnya dalam kitab
Negara Kertagama, artinya nama itu sudah populer tidak perlu lagi
penjelasan pada waktu itu, tetapi bukan negara bawahan karena tidak
disebut demikian, yang ada adalah negara sahabat. Negara sahabat artinya
kerajaan itu dianggap sejajar kedudukanya dengan kerajaan Majapahit,
dan mempunyai kedudukan yang sangat dihormati karena statusnya adalah
negara sahabat. Hubungan yang terjalin pun atas dasar persahabatan,
bukan permusuhan atau yang satu menjadi bawahan atas yang lainnya.
Pembuktian Kebohongan Sejarah ttg Persetruan Kerajaan Majapahit Vs Sunda
Analisa Data
Nama Yawana yang ada, dinyatakan bahwa
salah satu negara yang statusnya bersahabat dengan kerajaan Majapahit.
Kalau Yawana itu ditujukan untuk nama kerajaan di India barat, tidaklah
berdasar karena istilah nusantara tidak menjangkau ke wilayah tersebut.
Istilah nusantara sendiri sering
diartikan sebagai gabungan antara negera-negara taklukan atau kerajaan
bawahan dengan negara-negara “asing” yang statusnya sebagai negara
sahabat kerajaan Majapahit. Sekali lagi istilah negara asing atau negara
sahabat bukan didasarkan oleh letak jauh tapi atas dasar setatusnya
yang bukan negara taklukan atau bawahan kerajaan Majapahit.
Yawana dalam hal ini adalah diduga
sebuah nama negara sebutan yang terdiri dari beberapa kerajaan yang
masih dalam kawasan yang dekat, tentunya dengan kerajaan Majapahit,
dilihat dari nafas kalimat petikan tersebut, dikuatkan tidak adanya
nama-nama kerajaan dipulau Jawa yang disebut satu pun, di petikan pupuh
kitab Negara Kertagama sebelumnya.
“…….Yawana ialah negara sahabat.
Pulau Madura tidak dipandang negara
asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa
dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”,
Pernyataan yang diimbangi secara adil
dan rata, adanya hubungan bolak balik antara satu kalimat dengan kalimat
yang lainnya, dan dengan ada pernyataan lanjutan tentang keberadaan
serta status pulau Madura, juga seirama dengan pertanyaan umum mengenai
keberadaan nama kerajaan-kerajaan di tatar Sunda yang tidak ada di
daftar negara-negara yang berada dibawah kekuasaan Majapahit menurut
keterangan dari isi kitab Negara Kertagama.
Si pembuat atau pengarang kitab Negara
Kertagama adalah sudah barang tentu seorang satrawan mumpuni yang luas
wawasannya, menjangkau pengetahuan sejarah masa lampau menurut
ukurannya, dan untuk menyebutkan nama kerajaan-kerajaan ditatar Sunda
atau kerajaan-kerajaan Jawa secara keseluruhan, dan dengan ada hubungan
emosional kedekatan serta persaudaraan dari rangkaian sejarah sjauh
sebelumnya, tentunya panggilan atau sebutan bagi kerajaan-kerajaan
ditatar Sunda dan Jawa haruslah memakai istilah tersirat.
Hal yang sama kalau dimisalkan
penyebutan nama keluarga, atau teman atau orang yang sudah mempunyai
hubungan kedekatan dengan meminjam biasanya meminjam nama anaknya
seperti : bapak si Pulan, Ibu si Siti, atau sebutan seorang anak kepada
babaknya ketika dia juga sudah punya anak “kakek si Badu, Nenenk si
Intan” dan lain sebagainya, istilah lain untuk menghindari pernyataan
nama langsung sebagai tanda penghormatan.
Bukti sastrawan ini mempunyai
pengetahuan dimasa lampau dengan adanya petikan kitab Negara Kertagama
“…….Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka
lautan menantang bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak
sangat jauh.” , kalau saja pengarang buku atlanstis tahu kalimat itu
dari kitab Negara Kertagama, bisa jadi kitab ini dijadikan rujukan,
soalnya ada penanggalan waktu disitu “tahun Saka lautan menantang bumi”
yang secara harfiah bisa diartikan ketika permukaan air laut naik
mengenangi daratan. Ini sangat sejalan dengan penelitian, analisa dan
teori-teori buku Atlantis karya Prof. Santos (nama panggilan pengarang
buku Atlantis). Mohon maaf penulis belum bisa mengartikan arti “lautan
menantang bumi” sebagai angka tahun kisaran untuk sekala perhitungan
saka.
Hal ini juga sama dengan sebutan untuk
nama Yawana, dipakai untuk menerangkan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda,
tapi meminjam istilah asal usul orang masyarakat Sunda dan Jawa secara
keseluruhan karena merasa ada kesamaan jalur keturunan, terdapat rasa
persaudaraan yang kental. Karena secara sejarah, masyarakat Sunda lebih
awal mulai terdeteksi sebagai asal usul keturunan pertama, dilhat dari
historis kerajaan-kerjaan di tatar Sunda dan Jawa bagian timur tentunya.
Nama Yawana, menurut penulis arahnya
ini merujuk untuk sebuah nama lain, diduga yaitu kerajaan-kerajaan
Sunda. Sumber terakhir yang menerangkan secara linguistik bahwa Java
atau Jawa dan erat kaitannya dengan bahasa Javana atau Yavana atau
Yawana yang berasal dari negeri India, lebih jauh dalam buku Atlantis
ini istilah Yawana yang dimaksud adalah langsung menunjuk pulau Jawa
(Pulau putih tempat asalnya bangsa atau ras berkulit putih), dan bukan
dimaksudkan untuk nama asli sebutan kumpulan suku gabungan Yunani-India.
Dengan demikian, Yawana dalam kitab
Negara Kertagama sebenarnya menunjukan untuk negara-negara atau
kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa secara keseluruhan bukan hanya
kerajaan-kerajaan Sunda, artinya semua kerajaan yang termasuk dalam
kelompok dan berada di Pulau Jawa itu adalah kerajaan sahabat,
terkecuali memang daerah bawahan yang dari semula yang sudah menjadi
negara bagian dari Kerajaan Majapahit.
Dilihat dari maksudnya, Yawana lebih
kearah kerajaan-kerajaan ditatar Sunda, dilihat dari pengecualian
tentang kerajaan-kerajaan dipulau Jawa yang sudah termasuk secara fakta
teritorial ke wilayah kerajaan Majapahit. Dengan demikian Yawana sudah
barang tentu secara cakupan dan khusus untuk kasus ini, dapat diambil
kesimpulan atas dasar analisa-analisa diatas bahwa Yawana merujuk
terhadap kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, dan yang mewakili kerjaaan
gabungan di tatar Sunda pada waktu itu adalah kerajaan Sunda Galuh.
Kecuali ada bukti lain yang menerangkan
identitas tentang kerajaan Yawana yang sebenarnya. Maka dengan demikian
pernyataan tentang negara Yawana yang disebutkan dalam kitab Negara
Kertagama adalah nama untuk sebutan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda,
alasan-alasan sudah dijelaskan diatas, bisa jadi mendekati atau mirip
arah arahnya untuk kerajaan Sunda Galuh yang dimaksud itu, kerajaan yang
merupakan gabungan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, setelah melihat
dari beberapa sumber yang korelasinya sama.
Akhir dan Kesimpulan
Bahwa telah terjadi persetruan antara
kerajaan Sunda dan kerajaan Majapahit adalah diduga merupakan sejarah
yang tidak benar, tentu dengan sendirinya bahwa perkara yang dijadikan
pembuktian penyidikan tentang peristiwa perang Bubat sebagai dasar pola
hubungan antara 2 kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Sunda dan kerajaan
Majapahit adalah bahwa telah terjadi persetruan itu, secara otomastis
tidak benar, bahkan mereka mempunyai hubungan persahabatan, lebih
jauhnya lagi bisa jadi saling kerja sama antar negara.
Perang Bubat sering dijadikan alat
propaganda persetruan dan dengan kenyataannya yang bedasarkan
bukti-bukti atas sumber-sumber yang didapat, itu tidak mungkin terjadi,
karena dugaan akhir menyangkut pola hubungan antar kedua negara tersebut
adalah sebagai 2 kerajaan yang bersahabat, sejajar, bisa jadi dikatakan
saling kerjasama. Dengan sendirinya bahwa peristiwa Perang Bubat itu
tidak berdasar sama sekali, peristiwa yang tidak pernah terjadi, dan itu
batal demi hukum.
Kecuali ada bukti-bukti sejarah yang
bisa mengungkapkan fakta dan mengatakan sebaliknya, maka kesimpulan ini
akan dikaji ulang lagi.
Perang Bubat dengan kisahnya yang
menyayat hati itu adalah buatan dari pihak yang punya kepentingan atas
ketidakbersatuan komponen-komponen utama pembentuk pondasi persatuan
nusantara.
Pihak itu, penjajah Belanda, kalau bisa
dan boleh penulis mencaci maki, maka akan dicaci sampai 1000 kali
cacian dengan nada serupa, saking keselnya karena sejarah nusantara
tercinta diacak-acak, dicabik-cabik sedemikian rupa, dan dibikin
sembrawut tak tentu arah (sangenah na wae, sa penae udele dewe), itu
pendapat penulis.
Adakah alasan lain yang tetap (keukeuh
peuteukeuh, ceuk urang Sunda mah) berasumsi dan mempertahankan bahwa
persetruan kesukuan antara suku Sunda dan suku Jawa adalah kisah
persetruan abadi, yang kalau bisa sampai akhir jaman?
Masih tetapkah berpaling dan membutakan
diri dari kenyataan yang sudah nampak jelas didepan mata? Masih relakah
menjadi budak-budak kebohongan sejarah? Silakan pilihan itu ada di
pembaca yang budiman
Klik dulu baru bisa rasakan ayam bangkok
BalasHapus