Sabtu, 28 Oktober 2017

SEKILAS TENTANG TARUMANEGARA,GALUH PAKUAN & KALINGGA


Salakanagara


Rajatapura atau Salakanagara (Kota Perak) tercantum dalam Naskah Wangsakerta sebagai kota tertua di Pulau Jawa. Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Kota ini sampai tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Wangsa Warman  I - VIII.

Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah seorang Wangsa Warman yang jika ditelusuri sejarahnya,Wangsa Warman ini berasal dari nama Wangsa dari daerah Champa/China yang masih memiliki pertalian darah dengan Kerajaan Kutai yang menggunakan nama Wangsa Warman.Seperti yang disebut dalam babad Bali Sri Kesari Dalem Warman Dewa yang mengalahkan  Ratu Urgasena/ Maya Denawa merupakan keturunan Warwan dari Darmaseraya yang memiliki pertalian darah dengan Kutai yaitu Kudungga.

Kudungga adalah raja Kutai pertama yang merupakan penduduk asli Kalimantan yang menikah dengan seorang putri Champa/China dari Wangsa Warman,karena sangat cintanya kepada istrinya,maka keturunannya diberikan gelar Wangsa Warman.Hal terbukti dari nama gelar keturunannya seperti Purna Warman,Mula Warman dan lain-lain.Menurut babad Airlangga di Bali disebutkan bahwa keturunan Wangsa Warman menyebar ke Sumatra yaitu Mauli Warman Dewa yang mendirikan Kerajaan Darmaseraya, dan keturunannya yang ke Jawa Jayasinga Warman mendirikan Kerajaan Tarumanegara,dan Kesari Dalem Warman Dewa mendirikan Kerajaan di Bali yang akan menurunkan diantaranya Tabanendra Warman Dewa,Udayana Warman Dewa ,Airlangga dan lain-lain.

Tarumanagara


Berikut adalah raja-raja Tarumanagara:
  1. Jayasingawarman (358 - 382) Jayasingawarman pendiri Tarumanagara .Setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah. Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi).
  2. Dharmayawarman (382 - 395 M) Dipusarakan di tepi kali Candrabaga.
  3. Purnawarman (395 - 434 M) Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura". Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga?) di Jawa Tengah. Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
  4. Wisnuwarman (434-455)
  5. Indrawarman (455-515)
  6. Candrawarman (515-535 M) Pada tahun 535 M terjadinya Meletus Gunung Krakatau yang sangat dasyat yang menyebabkan tsunami yang sangat besar dan berdampak pada seluruh dunia
  7. Suryawarman (535 - 561 M) Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan yang terkenal dengan Kerajaan Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Sedangkan putera Manikmaya, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
  8. Kertawarman (561 - 628) Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M). Raja Suraliman Sakti (568 – 597) putra Manikmaya cucu Suryawarman Raja Kerajaan Kendan adalah saudara sepupu Rakeyan Sancang
  9. Sudhawarman (628-639)
  10. Hariwangsawarman (639-640)
  11. Nagajayawarman (640-666)
  12. Linggawarman (666-669) Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
  13. Tarusbawa (669 – 723 M) Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, cicit Manikmaya, untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari kekuasaan Tarusbawa. Karena Putera Mahkota Galuh (Sena, Sanna atau Bratasena) berjodoh dengan Sanaha puteri Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga, Jepara, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.

Sabtu, 21 Oktober 2017

MASUKNYA AGAMA ISLAM DI BAYAN



Islam masuk di Bayan Lombok tidak terlepas dari perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa yang disebarkan oleh Wali Songo, Agama Islam masuk melaui pesisir utara Pulau Lombok pada masa Sunan Dalem ( 1505-1545 M ) menjadi Raja Gersik yaitu putera dari Sunan Giri Kedaton. Agama Islam di Bayan awalnya dibawa oleh pedagang pedagang dari Gersik Jawa Timur melalui
Pelabuhan Carik, dan dilanjutkan oleh generasi ke 4 Gersik yaitu cucu dari Sunan Dalem yaitu Sunan Prapen ( 1548-1602 M ),dan salah seorang Murid Syeikh Siti Jenar bernama Kebo Kanigoro yang dikenal dengan nama Sunan Pengging datang ke Lombok ketika terjadi gonjang ganjing tentang ajaran Syeikh Siti Jenar di Demak Bintoro.

Pada tahun 1510 M Kebo Kanigoro yang lahir tahun 1472 M menurut babad Tanah Jawi, hijrah ke Lombok hal tersebutbukan karena tidak tertarik terhadap tahta Majapahit yg jatuh ketangannya, tapi atas pertimbangan keselamatan jiwanya, sehingga membuatnya untuk hijrah ke tempat yg lebih aman dan mendirikan kerajaan baru ditempatnya yg baru, beliau menikah dengan putri dari Kerajaan Purwadadi Lombok bernama Dewi Kencana Sari,dan di Lombok dikenal dengan nama Sunan Pengging.Sunan Pengging menyebarkan agama Islam di daerah Purwa ,Pujut dan pindah ke Bayan tahun 1517 M,dan di Bayan Sunan Pengging dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi,Sunan Pengging menanamkan tentang prinsip dasar diterima dari gurunya Syeikh Siti Jenar Wetu Telu ketika masih di Jawa seperti dialog di bawah ini antara Syeikh Siti Jenar dan Kebo Kanigoro /Sunan Pengging :

“Ada berapa cara yang saling berbeda dari kemunculan makhluk-makhluk di dunia ini. Tolong jelaskan pada kami, cara apa saja itu dan disebut apa proses kemunculan makhluk-makhluk di dunia ini?,”

Kebo kanigoro tercekat kaget, lama ia tidak menjawab, akhirnya ia mengembalikan kepada Syekh Siti Jenar, “kami tidak bisa menjawab pertanyaan tuan Syaikh, kami mohon penjelasan.”

“Ketahuilah pangeran kebo Kanigoro, kemunculan makhluk hidup di dunai ini melalui tiga cara berbeda yang disebut wetu telu (keluar tiga).

1-Pertama, adalah yang disebut menganak (melahirkan).
2-Kedua, mengendong (melalui telur).
3-Ketiga, masemi (tumbuh).

Seluruh makhluk hidup yang memiliki daun telinga, umumnya muncul di dunia melalui cara menganak. Sedang makhluk-makhluk yang tidak memiliki daun telinga umumnya muncul ke dunia melalui mengendong. Dan semua makhluk hidup yang muncul tidak memiliki cara menganak atau mengendong, umumnya muncul ke dunia melalui cara masemi.”

Maka dengan hijrahnya Sunan pengging ke Lombok yang mengajarkan prinsip dasar Wetu telu,dan keturunan Sunan Pengging sangat banyak di Lombok dan sudah menyebar hingga ke Jawa sampai saat ini

Agama Islam menjadi agama negara di Kedatuan Bayan pada tahun 1515 M,dan pertama memeluk agama islam dari kalangan keluarga Datu Bayan adalah Titi Mas Supakel,menurut sejarah Bayan Titi Mas Supakel mempunyai 3 orang putra dan seorang putri yaitu :

1-Titi Mas Perempung
2-Titi Mas Muter Jagat
3-Titi Mas Bunbunan
4-Titi Mas Pande ( putri )
5-Titi Mas Sunsunan

Ketika Agama Islam masuk di Bayan ,maka putra putra Datu Bayan dikhitan sesuai dengan syariahislam,namun seorang putra dari Titi Mas Supakel yang bernama Titi Mas Bunbunan menolak untuk dikhitan,dan Titi Mas Bunbunan pindah ke Bali dan tetap memeluk Agama Hindhu,dan Titi Mas Sunsunan dikirim oleh ayahnya ke Pejanggik dan menetap di sana dan menikah dengan putri Datu Pejanggik,adpun Datu Pejanggik pada saat itu adalah  Titi Mas Komala Aji,dari pernikahan Titi Mas Sunsunan dan putri Pejanggik tersebut, maka lahirlah Titi Mas Mutering Gumi dan Titi Mas Mutering Gumi mempunyai salah seorang putra bernama Titi Mas Pakel Ukir .Setelah Agama Islam berkembang di Bayan,maka Datu Bayan Titi Mas Supakel pindah ke Gunung Batua,dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yang paling besar bernama Titi Mas Perempung tahun 1552 M,namun pemerintahannya tidak berlangsung lama ,maka pada tahun 1560 M pemerintahan diserahkan kepada adik perempuannya yang bernama Titi Mas Pande yang bergelar Ratu Mas Bayan Agung dalam pemerintahan Ratu Mas Bayan Agung ini Agama Islam berkembang di Bayan dan Kedatuan Bayan berkembang maju,karena Ratu Mas Bayan Agung dikenal memerintah dengan adil dan bijaksana.

Titi Mas Supakel memerintahkan seorang puteranya yang bernama Titi Mas Muter Jagat untuk pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama di Mekah,dan di Mekah Titi Mas Muter diganti namanya menjadi Syeikh Nurul Rosyid,ketika Syeikh Nurul Rosyid pulang kembali ke Bayan .Syeikh Nurul Rosyid singgah dulu di Bagdad ,dan di Bagdad ia menuntut ilmu kepada seorang mursyid.dan di Bagdad Syeikh Nurul Rasyid diberikan nama gelar oleh Gurunya dengan nama Gosz Abdur Razaq.

Dengan kembalinya Titi Mas Muter Jagat atau Gaosz Abdur Razaq ,maka ia mulai menyebarkan agama Islam di Bayan bersama Sunan Prapen,dan mendirikan Masjid Bayan pada tahun 1578 M,yang sampai saat ini masih berdiri sebagai bukti sejarah tentang perkembangan agama islam di Bayan

Kamis, 19 Oktober 2017

SILSILAH SINGGKAT PEMBINA UTAMA MPSSGI




Pada tahun Isaka 1203 (1281 M) dari negeri China datang dua orang putri Raja Ming / Miao Li (yang dikenal dengan Mauliwarma Dewa) keturunan Thong (Raja Miao Ciang) / Raja Li, Kerajaan Ming artinya Sinar / Surya,wilayah Cina waktu itu / Campa / Melayu (sekarang Malaya) Singapura atau Tumasek hingga laut Cina Selatan (Nan Hay). Belakangan berhasil di satukan Madjapahit dan China di kuasai dinasty Cing / Ming karena Mongol / Khan sudah runtuh, makanya kita disebut bangsa “INDO-CINA” yang jadi cikal bakal bangsa Indonesia.jadi orang yang tinggal di daratan China hingga ujung selatan (Melayu) disebut orang Indo-Cina .

Daratan China ke utara bernama “Mantjupai”. Madjapahit pun simbolnya Surya / Sinar , sedangkan simbol Raja adalah Macan putih. Dua Putri Raja Ming / Miao LI tersebut datang lengkap dengan dayang-dayang, pengawal ,para suhu dan lain-lain, kedua putri tersebut adalah “ Dara Jingga “ dan adiknya “ Dara Petak ” (Putih), keadatangan Putri China ini pada jaman Kerajaan Singhasari yaitu pada masa pemerintahan Sri Kerthanegara / Bathara Siwa tahun isaka 1190-1214 atau tahun (1268-1292 Masehi). Putri Dara Petak bergelar “ Maheswari ” diperistri oleh Sri Jayabaya atau Prabu Brawijaya I / Bhre Wijaya / Raden Wijaya , Raja Madjapahit pertama yang juga bergelar “ Sri Kertha Rajasa Jaya Wisnu Wardana ” pada tahun isaka 1216-1231 atau tahun (1294-1309 Masehi) yang selanjutnya menurunkan Prethi Santana / keturunan bernama “ Kala Gemet ” yang menjadi Raja Madjapahit kedua pada tahun 1309-1328 M, yang bergelar “ Jaya Negara ”. Sedangkan Putri Dara Jingga yang bergelar ‘’ Indreswari’’ atau Li Yu Lan atau Sri Tinuhanengpura (yang dituakan di Pura Singosari dan Madjapahit) diperistri oleh Sri Jayasabha yang bergelar “ Sri Wilatikta Brahmaraja I ” atau “ Hyang Wisesa “ .

Gelar Li adalah dari Raja Tong “ Li Ti “ (Li Wang Ti) yang mengirim Putri Macan Putih ke Kahuripan, Sri Jayasabha adalah pembesar Singosari dengan pangkat “ Maha Menteri ” . Putri Dara Jingga dalam lontar dikenal, yang berbunyi “ Dara Jingga arabi Dewa Sang Bathara Adwaya Brahma “ yang selanjutnya menurunkan putra sebanyak enam orang laki-laki yaitu :
 1-Sri Cakradara ( Suami dari Tri Buwana Tunggadewi Jayawisnuwardani)
 2.Arya Dhamar, yang disebut juga dengan Arya Teja alias Kiyayi Nala atau Adityawarman,
    ( Yang   menaklukan Bali dan Lombok bersama Gajah Mada pada tahun 1342-1343 M )
 3.Arya Kenceng, ( Menjadi Raja Tabanan )
 4-Arya Kuthawaringin,
 5-Arya Sentong
 6- Arya Pudak

Setelah Bali dapat ditaklukkan tahun 1342 M, Maka Kyai Nala/Adhitiyawarman melanjutkan untuk menaklukkan Lombok pada tahun 1343 M,setelah Lombok ditaklukkan, maka Kyai Nala/ Adhitiya warman menjadikan putranya menjadi Bhatara di Lombok yang bergelar Bhatara Tunggul Nala.
Bhatara Tunggul Nala mempunyai dua orang putra yang bernama:

1-Denek Mas Muncul yang pada tahun 1352 M diangkat menjadi Datu Bayan oleh Gajah Mada.
2-Denek Mas Pengendengan Segara Kathon yang menyepi ke Daerah Rembitan dan memiliki seorang putra yang bernama Denek Mas Dewa Komala Sempopo yang nantinya mendirikan Kedatuan Pejanggik.

Pejanggik bermula dengan menyepinya Deneq Mas Putra Pengendengan Segara Katon ke daerah Rambitan. Beliau didampingi oleh putranya, Deneq Mas Komala Sempopo, yang kemudian menurunkan raja-raja Pejanggik. Dari keturunan Deneq Mas Komala Dewa Sempopo inilah pada generasi kelima menurunkan Deneq Mas Komala Sari. Kemudian Deneq Mas Unda Putih pada generasi keenam dan dilanjutkan oleh Deneq Mas Bekem Buta Intan Komala Sari pada generasi ketujuh. Kakak Deneq Mas Bekem Buta Intan Komala Sari yang bernama Pemban Mas Aji Komala dilantik sebagai raja muda dan mewakili Gowa di Sumbawa pada tangga13 November 1648M. Sejak itulah tercatat bahwakerajaan Pejanggik mulai mengalami perkembangan.

Kerajaan Pejanggik mengalami perkembangan yang semakin pesat setelah bertahtanya Pemban Mas Meraja Sakti. Beliau kawin dengan putri Raden Mas Pamekel (Raja Selaparang) bernama Putri Mas Sekar Kencana Mulya. Dewa Mas Pakel sebagai raja diSelaparang menyadari kekeliruannya selama ini yang terlalu banyak memperhatikan Sumbawa dan melupakan Pejanggik yangmerupakan saudaranya. Selanjutnya raja Selaparang menyerahkan berbagai benda pusaka dalem ke Pejanggik yang merupakan pertanda bahwa Pejanggik menjadi penerus misi pemersatu di Gumi Sasak.Hal ini membuat raja muda Raja Mas Kerta Jagat yang merupakan pengganti selanjutnya di kerajaan Selaparang semakin tersinggung.

Bergabungnya Arya Banjar Getas membuat Pejanggik semakin kuat. Tetapi hal ini justra menyebabkan semakin renggangnya hubungan antara Selaparang-Pejanggik. KerajaanPejanggik pun mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil lainnya seperti Langko, Sokong, Bayan, Tempit dan Pujut. Kerajaan lainnya dijadikan kedemungan dengan gelar kerajaan seperti Datu Langko, Datu Sokong, Datu Pujut dan lain-lainnya. Sedangkan raja Pejanggik sendiri memakai gelar yang sama dengan kerajaan Selaparang yaitu Pemban. Semua. itu juga merupakan basil kepiawaian Arya Banjar Getas dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam peperangan. la pun mendapat gelar tanirihan yaitu "Surengrana" dan "Dipati Patinglanga". Secara bertahap, strategi-strategi yang digunakan oleh Arya Banjar Getas adalah sebagai -berikut:

1-.Melakukan konsolidasi ke dalam Pejanggik.
2-Mengisolir Selaparang dengan mendekati kerajaan-kerajaan keluarga Bayan.
3-Menggerogoti kerajaan Selaparang dengan menguasai wilayahseperti Kopang, Langko, Rarang, Suradadi, Masbagik, Dasan Lekong; Padamara, Pancor, Kelayu, Tanjung. Kalijaga, barukemudian masuk ke Selaparang.

Arya Banjar Getas melakukan sebuah strategi konsolidasi dengan menyerahkan keris sebanyak 33buah kepada raja Pejanggik,lalu mengarak berkeliling dan menyerahkannya kepada para prakanggo untuk kemudian ditukar dengan keris pusaka masing-masing. Penukaran tersebut merupakan suatu bentuk kesetiaan dan loyalitas tunggal kepada raja Pejanggik. Keberhasilan Arya Banjar Getas melakukan berbagai gerakan tersebut langkah demi langkah disebut Politik Rerepeq.
Bila ditinjau dari segi kekuasaan, kerajaan Pejanggik sangat solid, akan tetapi langkah-langkah yang ditempuh oleh Arya Banjar Getas dianggap merombak tatanan hubungan yang merupakan jalinan yang telah dibina secara turun-menurun.

Jika kita melihat generasi Kerajaan Pejanggik terdapat Delapan Generasi yaitu:

1-Kiyai Nala /Aditiyawarman adalah generasi ke satu
2-Bethara Tunggul Nala generasi ke dua
3-Deneq Mas Pengendengan Segara Katon Generasi ke tiga
4-Deneq Mas Dewa Komala Sempopo Generasi ke empat
5-Deneq Mas Komala Sari Generasi ke lima
6-Deneq Mas Unda Putih generasi ke enam
7-Deneq Bekem Buta Intan Komala Sari Generasi ke tujuh
8-Maspanji Meraja Komala Sakti Generasi ke delapan


Sebelum Karangasem melebarkan kekuasaan ke Lombok, untuk penjajakan raja menjalin lawatan (perkenalan-persahabatan) politik dengan beberapa raja. Di kerajaan Pejanggik Lombok Tengah, raja berkenalan dengan Datu Pejanggik Maspanji Meraja Sakti memiliki anak muda bernama Mas Pakel Ukir. Sebagai tanda perasudaraan, raja Bali mengundang Mas Pakel datang dan tinggal di Bali alias diangkat menjadi keluarga kerajaan Karangasem.

Mas Pakel adalah seorang pemuda gagah, ganteng, dan sangat sopan, sehingga para putri raja bahkan istri raja sangat menyukainya. Akibatnya, keluarga lingkungan kerajaan banyak yang merasa iri atau sakit hati. Mereka lantas membuat fitnah bahwa: Mas Pakel Ukir merusak pagar ayu, merusak istri raja, merusak putri-putri raja, yang mestinya dijaga. Gencarnya profokasi menyebabkan raja termakan oleh cerita ini, sehingga membuat rekayasa untuk menyingkirkan pemuda Pakel. Pakel ditunjuk menjadi panglima, dan seolah dikirim untuk melawan musuh. Namun, di wilayah yang kini ada di kawasan Tohpati Mas Pakel berusaha untuk dibunuh. Mas Pakel Ukir sangat sakti, sehingga tidak bisa mati. Meski demikian, Pakel yang sendirian juga tidak bisa selamat dari pengeroyokan. Konon ia lantas mengambil sikap, ”Saya sekarang tahu bahwa saya direkayasa untuk dibunuh. Kalau mau membunuh saya bawalah saya ke Pantai Ujung”.

Proses berikutnya ada tiga versi:Pertama, Di pantai Mas Pakel tetap gagal dibunuh, sehingga akhirnya diusir balik ke Lombok dengan memakai perahu kecil (perahu pancing). Adapun makam yang ada di dekat Panjai Ujung, Karangasem itu, bukan makam Datu Mas Pakel Ukir (yang dikenal dengan sebutan Sunan Mumbul) tetapi makam Raja Pejanggik yang ditawan Raja Karangasem hingga meninggal. Kedua, ketika patih yang ditugaskan untuk membunuh mengayunkan pedang, Mas Pakel tiba-tiba menghilang dari pandangan dan berlari di atas air. Patih lantas membuat rekayasa untuk lapor pada raja, dengan membunuh seekor anjing dan hatinya diserahkan pada raja sebagai bukti bahwa dia telah menjalankan perintah. Namun, beberapa hari setelah peristiwa itu, tiba-tiba muncul seberkas sinar tempat Mas Pakel Ukir menghilang, dan tanah yang semula rata berubah menjadi gundukan menyerupai kuburan. Sejak itulah Mas Pakel dijuluki dengan sebutan Sunan Mumbul. Ketiga, Pakel akhirnya memang dibunuh, karena dia telah melepaskan kesaktian. Mayatnya dikubur di Pantai itu. Namun, ketika hendak dibunuh dia mengeluarkan kutukan: ”siapapun yang membunuh, semua keturunannya kalau lewat lokasi ini akan sakit jika tak bisa kencing di sekitar sini”. Perkataan Pakel ini dipercaya menjadi tuah oleh komunitas Hindu setempat. ”Saya kenal I Gede Gusti Putu. Dia nunggu dulu nggak mau lewat kalau belum kencing. Kalau belum kencing ndak berani lewat katanya. Makam yang dipercaya sebagai kuburan Mas Pakel ini kini biasa diziarai terutama pada Hari Raya Idul Fitri.

Namun jika kita lihat tentang berita dari Lombok ,bahwa Mas Pakel Ukir tidak dibunuh,namun diberikan sebuah perahu untuk kembali ke Pulau Lombok,dan Patih Kerajaan Karang Asem yang ditugaskan untuk membunuh Mas Pakel Ukir membuat laporan kepada Raja,bahwa Mas Pakel Ukir telah dibunuhnya di Pantai Ujung.Sebagai bukti bahwa Mas Pakel Ukir tidak dibunuh dan kembali ke Lombok yaitu adanya keturunannya yang sampai saat ini masih ada di Lombok yaitu di sekitar wilayah Kateng dan Mangkung.

Di Lombok menurut beberapa sumber disebutkan Putri dari Mas
 Pakel Ukir dinikahkan dengan Putra Maspanji Komala Patria yang melahirkan seorang putra bernama Maspanji Turu ,dan mas Maspanji Turu melahirkan tiga orang putra yang bernama :

1-Denek Laki ( Demung ) Nanggali yang beranak pinak di Kateng
2-Denek Laki ( Demung ) Suwa yang beranak pinak di Mangkung
3-Denek Laki ( Demung ) Paritu yang beranak pinak di Selebung Ketangga

Terkait Mas Pakel dalam konteks sejarah penaklukan Lombok oleh Karangasem, terdapat dua interpretasi sejarah.

Pertama, Pengangkatan Mas Pakel sebagai saudara kerajaan dan dipersilahkan tinggal di Karangasem, sejak awal telah dirancang untuk wahana penjajakan kekuatan: Ingin tahu berapa kekutannya, dan berapa prajuritnya. Jadi dengan adanya Datuk Mas Pakel atau disebut juga Datuk Pemuda Mas diambil sebagai saudara, kerajaan Karangasem bisa leluasa kesana-kemari untuk menyelidiki kekuatan lawan. Setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan Lombok, Mas Pakel Ukir yang tidak lagi “dibutuhkan” disingkirkan, sedangkan penaklukan atas Lombok segera dilakukan. Jadi, pengusiran/pembunuhan Pakel dengan alasan ”merusak pagar ayu keraton”, hakekatnya sengaja direncanakan untuk mencari alasan permusuhan alias pengabsah bagi Karangasem untuk melakukan penyerangan terhadap Lombok.

Kedua, kemungkinan lain raja Karangasem memang tidak melakukan rekayasa, tetapi murni ingin membangun persahabatan dengan Lombok termasuk dengan mengangkat saudara Mas Pakel. Tetapi, raja akhirnya termakan fitnah yang dibangun elemen kerajaan yang anti Islam dan anti Mas Pakel . Akibatnya, raja Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem benar-benar marah, mengusir/membunuh Mas Pakel, bahkan akhirnya melampiaskan kemarahan dengan melakukan perang penaklukan terhadap Lombok (Selaparang dan Pejanggik).

Pada tahun 1692M terjadi pemberontakan Banjar Getas. dalam pemberontakan tersebut Arya Banjar Getas meminta bantuan kerajaan Karangasem Bali, sehinggaPejanggik dapat dikalahkan. Raja Pejanggik ditawan dan diasingkan, kemudian wafat di Ujung Karangasem. Sedangkan para bangsawan Pejanggik diantara Maspanji Meraja Kusuma mengungsi ke Sumbawa yang nanti pulang kembali ke Sakre Lombok Timur,dan keturunan Pejanggik lainnya mengungsi ke tempat tempat yang aman di Pulau Lombok.

Salah Seorang keturunan Datu Pejanggik bernama Maspanji Komala Patria putranya dari Deneq Mas Bekem Buta Intan Komala Sari dan kakak dari Denek Mas Bekem Buta Intan Komala Sari yang  bernama Mas Aji Komala yang dilantik menjadi Raja di Sumbawa mewakili Gowa tahun 1648 M, dan salah satu putra dari Denek Mas Bekem Buta Intan Komala Sari  bernama Maspanji Meraja Komala Sakti diangkat menjadi datu Pejanggik tahun 1649 -1696 M.Ketika terjadi penyerangan Pasukan Gabungan Banjar Getas dan Pasukan Anak Agung Karang Asem terhadap Pejanggik,maka Pejanggik runtuh .Pada waktu itu Maspanji Komala Patria mengungsi ke tempat yang dianggap aman,yaitu sebuah tempat di dekat Batu Dendeng yaitu yang dikenal dengan daerah Penenges.Setelah beberapa tahun di Penenges dia menikah seorang putri dari Kateng yaitu Putrinya Denek Laki Mas Pakel Ukir yaitu salah seorang dari keturunan Pejanggik juga .Dari pernikahan Maspanji Patria dengan Putrinya Denek Laki Mas Pakel Ukir,dia menpunyai seorang putra yang bernama Maspanji Turu.

Setelah beranjak Dewasa Maspanji Turu pun menikah dan menpunyai tiga orang putra yaitu:

1-Denek Laki Nanggali menetap di Kateng dan beranak pinak di Kateng.
2-Denek Laki Suwa menetap di Mangkung dan beranak pinak di Mangkung
3-Denek Laki Paritu menetap di Ketangga dan beranak pinak di Ketangga.

Diceritakan Denek Laki Nanggali di Kateng mempunyai empat orang putra yaitu:

1-Denek Laki Supria
2-Denek Laki Senjata
3-Denek Laki Gorayang
4-Denek Laki Galang

Dikisahkan keempat putra Denek Laki Nanggali ini sangat pemberani ,kebal senjata dan sakti mandraguna.karena rasa patiotismenya terhadap Pejanggik,yang telah diruntuhkan oleh Arya Banjar Getas dan Anak Agung Karang Asem,maka keempat putra tersebut memutuskan untuk memberontak kepada kekuasaan Banjar Getas dan Anak Agung Karang Asem.

Namun pemberotakan dari keempat putera Denek Laki Nanggali tersebut dapat dipadamkan dengan siasat yang dilakukan oleh Anak Agung Karang Asem,yaitu dengan menawan istri,anak dan keluarganya.Dengan berat hati dan terpaksa Denek Laki Supria,Denek Laki Senjata,Denek Laki Gorayang dan Denek Laki Galang menyerah dan meletakkan senjata bersama pasukannya.
Keempat putera Denek Laki Nanggali tersebut ditangkap dan di bawa ke Mayura Cakranegara untuk diadili.

Menurut keputusan Pengadilan setelah diadakan sidang,maka Denek Laki Supria,Denek Laki Senjate,Denek Laki Gorayang,Denek Laki Galang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Kerajaan.Ketika akan dilaksanakan ekskusi kepada empat putera Denek Laki Nanggali tersebut,para algojo menjadi kebingungan sendiri,karena keempat putera dari Denek Laki Nanggali tersebut kebal senjata,tidak mempan oleh senjata apapun juga,hal ini membuat para algojo menjadi kewalahan.Berbagai upaya yang dilakukan untuk melenyapkan mereka namun sia sia sia belaka.Akhirnya Penasihat Kerajaanpun menyarankan agar ekskusi ditunda sementara,untuk menanyakan permintaan terakhir dari para terdakwa ,supaya mereka mau membuka rahsia kelemahan dari ilmu kekebalan dan kesaktian yang mereka miliki,dan dan mereka ikhlas mati .Maka Penasihat Kerajaan brtanya kepada keempat putera Denek Laki Nanggali tersebut ,tentang apa permintaan dan keinginan mereka.Penasihat Kerajaan berkata ," Apakah permintaan dan keinginan terakhir kalian,supaya kalian ikhlas mati ?",Maka salah satu dari mereka berkata ",Kami ikhlas mati jika Raja sanggup berjanji ,untuk memelihara dan melindungingi istri,anak dan keluarga kami ".Dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Anak Agung Karang Asem.dan berjanji disaksikan oleh para Pembesar Kerajaan,Para menteri dan Para Pendeta/Ida Pedanda.untuk memilihara dan melindungi istrik,anak dan keluarga mereka.Setelah janji dikrarkan ,maka keempat putera Denek Laki Nanggali tersebut siap untuk diekskusi,dengan membuka segala rahasia ilmu kekebalan dan kesaktiannya,sehingga ekskusi tersebut dapat terlaksana.Setelah pelaksanaan ekskusi selesai keempat jenazah tersebut dilayonkan/dimakamkan di Kamasan Mataram.

Untuk menepati janjinya Anak Agung Karang Asem memberikan tanah ,rumah dan fasilitas lainnya kepada istri,anak dan kelurganya di Karang Taruna Mataram,dan putera putera dari Denek Laki Supria,Denek Laki Senjate,Denek Laki Gorayang,Denek Laki Galang dipelihara layaknya sebagai keluarga kerajaan.

Dikisahkan selanjutnya Denek Laki Supria yaitu salah satu dari putera Denek Laki Nanggali yang telah diekskusi oleh oleh Anak Agung Karang Asem,mempunyai tiga orang putera yang bernama :
1-Demung Runtuh
2-Demung Purwata
3-Demung Munggah,

dan Denek Laki Supria mempunyai seorang putri yang bernama Denek Bini Keraeng dan lebih populer di Lombok dikenal dengan nama Denek Bini Jeraeng,dan dinamakan Denek Bini Keraeng karena dia menikah dengan seorang ulama yang berasal dari Gowa bernama Kiyai Keraeng/Kiyai Jeraeng yang datang dari Gowa melalui Sumbawa.

Dari ketiga putra dan seorang putri dari Denek Laki Supria ,Demung Runtuhlah yang paling pandai,cerdas,berani,berwibawa dan bijaksana,oleh sebab itu Anak Agung Karang Asem mengangkat Demung Runtuh menjadi Datu yang memerintah orang orang sasak di Lombok,yang wilayahnya meliputi,Dayan Jangkuk/Utara Kali Jangkuk,wilayah Mataram,Ampenan,terus ke selatan di Lauq Babak /Selalatan Kali Babak seperti Kediri, Gerung, Kuripan, Lembar, Sekotong,dan ketimur meliputi Puyung, Sukarare, Ranggegate, Penujak, Mangkung,Kateng,Pengembur ,Selong Belanak.Pusat Pemerintahan Demung Runtuh di Mataram tepatnya di Pendopo Kantor Gubernur NTB yang sekarang.dan Demung Purwata,dan Demung Munggah kembali ke Kateng tempat tanah leluhur,sedangkan Denek Bini Keraeng tetap tinggal di Mataram dan suaminya Kiyai Keraeng dijadikan sebagai Penghulu di Mataram oleh Demung Runtuh.

Demung Runtuh mempunyai tiga orang putera yang bernama:

1-Demung Putrawangsa
2-Demung Putraji
3-Demung Putradi,

dan ia mempunyai dua orang putri yang bernama :

1-Denek Bini Tegari
2-Denek Bini Haji Ali

Setelah Demung Runtuh wafat maka wilayah kekuasaannya dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1-Demung Putrawangsa memerintah wilayah Mataram,Ampenan,Dasan Agung,Kekalek,Pagutan ,Sekar Bela atau wilayah tengah yaitu di selatan kali Jangkuk,sampai di utara kali Babak.
2-Demung Putraji memerintah di wilayah selatan Kali Babak sampai Sekotong,Selong Belanak.
3-Demung Putradi memerintah di utara kali Jangkung dan daerah sekitarnya.

Diceritakan Demung Putrawangsa menpunyai dua orang putra yaitu :
1-Haji Nurdin
2-Mamiq Nursaid

Setelah terjadi perang puputan Cakranegara,Mataram ,Haji Nurdin pulang kembali ke Kateng dan wafat di Kateng,dan dilayonkan di Makam Peringga Kateng,sedangkan keluarga lainnya pulang ke Kebon Orong Bare Bokong.

Dari Haji Nurdin inilah Lahir Lalu Dirajab mempunyai putra putri yaitu :

1-Baiq Tale
2-Lalu Munggah
3-Baiq Waringin.
4-Baiq Rumayat
5-Lalu April
6-Lalu Imbong
7-Lalu Meidin
8-Lalu Syamsul Hakim
9-Baiq Gusniati
10-Baiq Juni
11-Lalu Ari

Dan pada akhir hayatnya Lalu Dirajab wafat di Selebung Ketangga,dan dilayonkan di Keruak Lombok Timur.Dari Putranya Lalu Dirajab yang bernama Lalu Munggah ,maka lahirlah lima orang putra putri yaitu :

1-Lalu Husnul Yaqien Juniansyah
2-Baiq Wiwik Marlina
3-Baiq Eliana
4-Baiq Erni Mahida
5-Lalu Ikhwanuul Kamal

TENTANG BHATARA / BHRE PADA ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT



Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari, terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa,Bali dan Lombok dll. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara ". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
  • Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
  • Nagara: diperintah oleh Rajya (Gubernur), atau Natha (Tuan), atau Bhatara/Bhre (Pangeran atau Bangsawan)
  • Watek: dikelola oleh Wiyasa,
  • Kuwu: dikelola oleh Lurah,
  • Wanua: dikelola oleh Thani,
  • Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

GELAR-GELAR YANG DIBERIKAN KEPADA PEJABAT PADA ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT




Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yg teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan tampak struktur dan birokrasi tersebut tak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya[21]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan dgn para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasa diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawah antara lain yaitu:

* Rakryan Mahamantri Katrini biasa dijabat putra-putra raja
* Rakryan Mantri ri Pakira-kiran dewan menteri yg melaksanakan pemerintahan
* Dharmmadhyaksa para pejabat hukum keagamaan
* Dharmma-upapatti para pejabat keagamaan

 

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yg terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yg bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yg anggota para sanak saudara raja yg disebut Bhattara Saptaprabhu.

Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah yg disebut Paduka Bhattara. Mereka biasa merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan penyerahan upeti dan pertahanan kerajaan di wilayah masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi daerah bawahan yg dipimpin oleh seseorang yg bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut seperti antara lain :
 

1. Kelinggapura
2. Kembang Jenar
3. Matahun
4. Pajang
5. Singhapura
6. Tanjungpura
7. Tumapel
8. Wengker
9. Daha
10. Jagaraga
11. Kabalan
12. Kahuripan
13. Keling

14.dll

Rabu, 18 Oktober 2017

KESESATAN SEJARAH,KEBOHONGAN TENTANG PERANG BUBAT



Suatu proses pencarian yang teramat sulit juga untuk mencari sumber yang mampu mengatakan bahwa Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit adalah dua kerajaan yang bersahabat dan rukun.
Berulangkali searching dengan menggunakan keywords bermacam-macam seperti: persahabatan kerajaan Majapahit dan Sunda, Persahabatan kerajaan Sunda dan Majapahit masa Gajah Mada dan Hayam Wuruk, Persahabatan raja Majapahit Hayam Wuruk dengan raja Sunda Lingga Buana dan lain sebagainya.
Kenyataannya semua hasil mengatakan hal yang sama, dengan kata lain “tidak bersahabat”, terjadi perselisishan alias permusuhan.
Tetapi kalau dimasukan keywords seperti: Perang Bubat, Perang antara Majapahit dan Sunda, dan lain sebagainya yang mengarah ke perang Bubat, hasilnya hampir serentak semua link url atau situs web mengatakan hal sama yaitu ada perang Bubat, ada perselisihan dan permusuhan dengan berbagai versinya.
Sumber-sumber utama yaitu kitab Pararaton dan kitab Kidung Sunda yang mengarah kepada kisah Ken Arok, terjadinya peristiwa perang Bubat dan Sumpah Palapa, secara sendirinya adalah sumber-sumber yang sudah tidak bisa dipercaya lagi sebagai sumber sejarah, dengan kata lain sumber-sumber itu adalah sumber yang direkayasa demi suatu kepentingan, yang akhirnya terjadi pembelokan arah sejarah.
Lantas pola hubungan seperti apa yang diterapkan antara dua kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda, yang masa pemerintahan untuk kerajaan Majapahit dipimpin oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk versi kitab Pararaton) dengan Maha Patih Gajah Mada? Inilah pertanyaan yang harus ada jawaban sebagai korelasinya dan jawaban itu harus ada, kalau tidak pernyataan “kebohongan sejarah” itu tetap tidak kuat.
Penyidikan suatu perkara hukum, selalu dalam langkah awalnya adalah mencari barang bukti, yang kemudian dipelajari, dianalisa dan dikembangkan. Berdasarkan barang bukti itulah penyidikan lebih lanjut dapat dilakukan.
Bukti sejarah yang ada adalah untuk perkara ini tiada lain adalah berupa prasasti-prasasti dan beberapa kitab yang tingkat kepercayaannya akan kebenarannya masih tinggi, atau sumber sejarah yang masih relevan. Prasasti-prasati yang ditemukan, hampir semuanya tidak bisa memberikan informasi tentang hal itu. Bukti sejarah berikutnya adalah dicoba dengan mempelajari lagi satu kitab yaitu kitab Negara Kertagama. Kitab Negara Kertagama inilah yang menjadi harapan satu-satunya bagi penulis untuk dapat memberikan informasi walaupun tidak gamblang.
Setelah dipelajari seksama dari hasil terjemahan kitab Negara Kertagama, akhirnya didapat petikan sebagai berikut :
“Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta. Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya.Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus.
Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah.
Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula anda(n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga Singasagari Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat. Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan.
Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara.
Dilarang mengabaikan urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.”
Petikan diatas memberkan informasi lengkap tentang negara-negara yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit yang memang mewakili istilah nusantara yang didengung-dengukan itu, tidak seperti Sumpah Palapa yang tidak mewakili aspek keseluruhan yang dikatakan nusantara. Bisa jadi Sumpah Palapa itu sendiri adalah bentuk pengkerdilan istilah Nusantara itu sendiri, bisa jadi juga ini lemparan wacana ke publik dengan tujuan pro kontra mengenai istilah nusantara dengan hanya memakai simbolisasi Sumpah Palapa, yang akhirnya diharapkan terjadi keraguan terhadap kebesaran istilah nusantara tersebut.
Petikan diatas juga, memberikan informasi yang penuh diharapkan sebagai pernyataan yang mencurigakan, diberikan tanda cetakan tebal supaya lebih fokus yaitu:
“Yawana ialah negara sahabat. Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”
Merujuk pada keterangan kitab Negara Kertagama itu bahwa banyak negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain yang secara otomatis takluk dan berinduk ke kerajaan Majapahit, tidak harus melalui proses peperangan besar.
Dalam catatan sejarah resmi, untuk kerajaan Majapahit, hanya teridentifikasi melakukan beberapa kali peperangan, perang terbesar adalah dengan kerajaan di Pulau Bali, kemudian perang menumpas pemberontakan kerajaan Sadeng dan Keta. Tiga kerajaan ini nota bene adalah kerajaan-kerajaan yang secara historis atau sejarah pendiriannya mulai kerajaan Tumapel masa pemerintahan Sri Rajasa Sang Amurwabhumi alias Ken Arok (versi kitab Pararaton sampai ke Sri Kertanegara, kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya sampai Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk (versi kitab Pararaton) adalah masih termasuk kerajaan-kerajaan bawahan.
Wajar dan memang seharusnya kalau peperangan itu dilakukan, untuk menjaga keutuhan, kewibawaan, persatuan dan kesatuan serta nama baik kerajaan, setidaknya ada alasan perang yang mendasar dan sah secara hukum kenegaraan.
Tetapi negara-negara lain, bisa secepat itu takluk, menginduk dan mengakui kerajaan Majapahit yang memegang kontrol atas mereka. Hal ini dikarenakan, apa yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit adalah sebagai pencetus atau pelopor idea penggabungan kekuatan, dengan membentuk aliasi dengan negara-negra lainya, tujuannya dalam rangka menjaga apabila suatu saat ada invasi dari kekaisaran Mongol untuk kedua kalinya.
Percobaan invasi pertama, ketika kerajaan Singhasari atau Tumapel dibawah kendali Jayakatwang yang merebut kekuasaan secara paksa dari penguasa sah Sri Kertanegara. Tentara Mongol sempat menguasai ibu kota kerajaan, tapi tidak lama berselang bisa diusir kembali oleh pasukan tentara yang dipimpin Raden Wijaya, raja pertama Majapahit menantu dari Sri Kertanegara.
Mengapa pula dengan skala waktu yang tidak terlalu lama nusantara bisa terbentuk? Jawabanya adalah teori musuh bersama. Umpan nilai psikologis inilah yang merupakan senjata ampuh dalam propaganda ide aliansi yang dimotori oleh kerajaan Majapahit, jadi tidak lagi harus bersusah-susah melakukan perang. Ketika negara-negara dalam aliansi itu sudah terbentuk, katakanlah dengan beberapa negara besar yang sudah bergabung, untuk mengembangkannya lebih mudah ke arah pemekaran yang lebih luas.
Ide aliansi inilah yang merupakan cikal bakal terbentuknya nusantara, dan ini ide sangatlah brilian, terlebih didukung oleh situasi yang ada, yaitu ada musuh bersama yang nyata didepan mata. Musuh bersama itu tiada lain adalah pasukan besar kekaisaran Mongol.
Secara fakta pertahan, sebuah aliansi harus ada negara pengontrol, pemimpin bagi yang lainya dan kerajaan Majapahit-lah yang cocok dan memenuhi syarat. Majapahit adalah negara adidaya di nusantara selain Kerajaan Sunda pada masa itu. Karena Kerajaan Sriwijaya tidak lagi termasuk negara adidaya dengan alasan keberadaannya sudah melemah, yang sebelumnya mengalami masa-masa penjajahan dari kerajaan Chola, India.
Penyidikan dilanjutkan lagi. Sekarang pertanyaan yang timbul adalah Yawana itu kerajaan mana? Tidak dijelaskan identitasnya dalam kitab Negara Kertagama, artinya nama itu sudah populer tidak perlu lagi penjelasan pada waktu itu, tetapi bukan negara bawahan karena tidak disebut demikian, yang ada adalah negara sahabat. Negara sahabat artinya kerajaan itu dianggap sejajar kedudukanya dengan kerajaan Majapahit, dan mempunyai kedudukan yang sangat dihormati karena statusnya adalah negara sahabat. Hubungan yang terjalin pun atas dasar persahabatan, bukan permusuhan atau yang satu menjadi bawahan atas yang lainnya.
Pembuktian Kebohongan Sejarah ttg Persetruan Kerajaan Majapahit Vs Sunda
Analisa Data 
Nama Yawana yang ada, dinyatakan bahwa salah satu negara yang statusnya bersahabat dengan kerajaan Majapahit. Kalau Yawana itu ditujukan untuk nama kerajaan di India barat, tidaklah berdasar karena istilah nusantara tidak menjangkau ke wilayah tersebut.
Istilah nusantara sendiri sering diartikan sebagai gabungan antara negera-negara taklukan atau kerajaan bawahan dengan negara-negara “asing” yang statusnya sebagai negara sahabat kerajaan Majapahit. Sekali lagi istilah negara asing atau negara sahabat bukan didasarkan oleh letak jauh tapi atas dasar setatusnya yang bukan negara taklukan atau bawahan kerajaan Majapahit.
Yawana dalam hal ini adalah diduga sebuah nama negara sebutan yang terdiri dari beberapa kerajaan yang masih dalam kawasan yang dekat, tentunya dengan kerajaan Majapahit, dilihat dari nafas kalimat petikan tersebut, dikuatkan tidak adanya nama-nama kerajaan dipulau Jawa yang disebut satu pun, di petikan pupuh kitab Negara Kertagama sebelumnya.
“…….Yawana ialah negara sahabat.
Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”,
Pernyataan yang diimbangi secara adil dan rata, adanya hubungan bolak balik antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya, dan dengan ada pernyataan lanjutan tentang keberadaan serta status pulau Madura, juga seirama dengan pertanyaan umum mengenai keberadaan nama kerajaan-kerajaan di tatar Sunda yang tidak ada di daftar negara-negara yang berada dibawah kekuasaan Majapahit menurut keterangan dari isi kitab Negara Kertagama.
Si pembuat atau pengarang kitab Negara Kertagama adalah sudah barang tentu seorang satrawan mumpuni yang luas wawasannya, menjangkau pengetahuan sejarah masa lampau menurut ukurannya, dan untuk menyebutkan nama kerajaan-kerajaan ditatar Sunda atau kerajaan-kerajaan Jawa secara keseluruhan, dan dengan ada hubungan emosional kedekatan serta persaudaraan dari rangkaian sejarah sjauh sebelumnya, tentunya panggilan atau sebutan bagi kerajaan-kerajaan ditatar Sunda dan Jawa haruslah memakai istilah tersirat.
Hal yang sama kalau dimisalkan penyebutan nama keluarga, atau teman atau orang yang sudah mempunyai hubungan kedekatan dengan meminjam biasanya meminjam nama anaknya seperti : bapak si Pulan, Ibu si Siti, atau sebutan seorang anak kepada babaknya ketika dia juga sudah punya anak “kakek si Badu, Nenenk si Intan” dan lain sebagainya, istilah lain untuk menghindari pernyataan nama langsung sebagai tanda penghormatan.
Bukti sastrawan ini mempunyai pengetahuan dimasa lampau dengan adanya petikan kitab Negara Kertagama “…….Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.” , kalau saja pengarang buku atlanstis tahu kalimat itu dari kitab Negara Kertagama, bisa jadi kitab ini dijadikan rujukan, soalnya ada penanggalan waktu disitu “tahun Saka lautan menantang bumi” yang secara harfiah bisa diartikan ketika permukaan air laut naik mengenangi daratan. Ini sangat sejalan dengan penelitian, analisa dan teori-teori buku Atlantis karya Prof. Santos (nama panggilan pengarang buku Atlantis). Mohon maaf penulis belum bisa mengartikan arti “lautan menantang bumi” sebagai angka tahun kisaran untuk sekala perhitungan saka.
Hal ini juga sama dengan sebutan untuk nama Yawana, dipakai untuk menerangkan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, tapi meminjam istilah asal usul orang masyarakat Sunda dan Jawa secara keseluruhan karena merasa ada kesamaan jalur keturunan, terdapat rasa persaudaraan yang kental. Karena secara sejarah, masyarakat Sunda lebih awal mulai terdeteksi sebagai asal usul keturunan pertama, dilhat dari historis kerajaan-kerjaan di tatar Sunda dan Jawa bagian timur tentunya.
Nama Yawana, menurut penulis arahnya ini merujuk untuk sebuah nama lain, diduga yaitu kerajaan-kerajaan Sunda. Sumber terakhir yang menerangkan secara linguistik bahwa Java atau Jawa dan erat kaitannya dengan bahasa Javana atau Yavana atau Yawana yang berasal dari negeri India, lebih jauh dalam buku Atlantis ini istilah Yawana yang dimaksud adalah langsung menunjuk pulau Jawa (Pulau putih tempat asalnya bangsa atau ras berkulit putih), dan bukan dimaksudkan untuk nama asli sebutan kumpulan suku gabungan Yunani-India.
Dengan demikian, Yawana dalam kitab Negara Kertagama sebenarnya menunjukan untuk negara-negara atau kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa secara keseluruhan bukan hanya kerajaan-kerajaan Sunda, artinya semua kerajaan yang termasuk dalam kelompok dan berada di Pulau Jawa itu adalah kerajaan sahabat, terkecuali memang daerah bawahan yang dari semula yang sudah menjadi negara bagian dari Kerajaan Majapahit.
Dilihat dari maksudnya, Yawana lebih kearah kerajaan-kerajaan ditatar Sunda, dilihat dari pengecualian tentang kerajaan-kerajaan dipulau Jawa yang sudah termasuk secara fakta teritorial ke wilayah kerajaan Majapahit. Dengan demikian Yawana sudah barang tentu secara cakupan dan khusus untuk kasus ini, dapat diambil kesimpulan atas dasar analisa-analisa diatas bahwa Yawana merujuk terhadap kerajaan-kerajaan di tatar  Sunda, dan yang mewakili kerjaaan gabungan di tatar Sunda pada waktu itu adalah kerajaan Sunda Galuh.
Kecuali ada bukti lain yang menerangkan identitas tentang kerajaan Yawana yang sebenarnya. Maka dengan demikian pernyataan tentang negara Yawana yang disebutkan dalam kitab Negara Kertagama adalah nama untuk sebutan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, alasan-alasan sudah dijelaskan diatas, bisa jadi mendekati atau mirip arah arahnya untuk kerajaan Sunda Galuh yang dimaksud itu, kerajaan yang merupakan gabungan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, setelah melihat dari beberapa sumber yang korelasinya sama.
Akhir dan Kesimpulan
Bahwa telah terjadi persetruan antara kerajaan Sunda dan kerajaan Majapahit adalah diduga merupakan sejarah yang tidak benar, tentu dengan sendirinya bahwa perkara yang dijadikan pembuktian penyidikan tentang peristiwa perang Bubat sebagai dasar pola hubungan antara 2 kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Sunda dan kerajaan Majapahit adalah bahwa telah terjadi persetruan itu, secara otomastis tidak benar, bahkan mereka mempunyai hubungan persahabatan, lebih jauhnya lagi bisa jadi saling kerja sama antar negara.
Perang Bubat sering dijadikan alat propaganda persetruan dan dengan kenyataannya yang bedasarkan bukti-bukti atas sumber-sumber yang didapat, itu tidak mungkin terjadi, karena dugaan akhir menyangkut pola hubungan antar kedua negara tersebut adalah sebagai 2 kerajaan yang bersahabat, sejajar, bisa jadi dikatakan saling kerjasama. Dengan sendirinya bahwa peristiwa Perang Bubat itu tidak berdasar sama sekali, peristiwa yang tidak pernah terjadi, dan itu batal demi hukum.
Kecuali ada bukti-bukti sejarah yang bisa mengungkapkan fakta dan mengatakan sebaliknya, maka kesimpulan ini akan dikaji ulang lagi.
Perang Bubat dengan kisahnya yang menyayat hati itu adalah buatan dari pihak yang punya kepentingan atas ketidakbersatuan komponen-komponen utama pembentuk pondasi persatuan nusantara.
Pihak itu, penjajah Belanda, kalau bisa dan boleh penulis mencaci maki, maka akan dicaci sampai 1000 kali cacian dengan nada serupa, saking keselnya karena sejarah nusantara tercinta diacak-acak, dicabik-cabik sedemikian rupa, dan dibikin sembrawut  tak tentu arah (sangenah na wae, sa penae udele dewe), itu pendapat penulis.
Adakah alasan lain yang tetap (keukeuh peuteukeuh, ceuk urang Sunda mah) berasumsi dan mempertahankan bahwa persetruan kesukuan antara suku Sunda dan suku Jawa adalah kisah persetruan abadi, yang kalau bisa sampai akhir jaman?
Masih tetapkah berpaling dan membutakan diri dari kenyataan yang sudah nampak jelas didepan mata? Masih relakah menjadi budak-budak kebohongan sejarah? Silakan pilihan itu ada di pembaca yang budiman

Selasa, 17 Oktober 2017

Perang Bubat Sebuah Kebohongan Para Pemecah Belah Nusantara


Perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada. Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di desa pelabuhan Bubat, Jawa Timur pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 masehi.

Pertempuran yang sangat tidak seimbang tsb dimenangkan secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandannya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana. Dan tidak cuma itu, permaisuri dan putri raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi – yang sedianya akan dinikahkan dengan raja Hayam Wuruk – ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi mayat ayahnya.

Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.

Sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya Perang Bubat ternyata hanya sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali, berjudul Kidung Sunda. Pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg pada awal tahun 1920an menemukan beberapa versi Kidung Sunda, diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi aslinya.

Secara analisis, Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat. Meskipun kemungkinan besar berasal dari Bali, tetapi tidak jelas apakah syair tsb. ditulis di Jawa atau di Bali.Kemudian nama penulis tidak diketahui dan masa penulisannyapun tidak diketahui secara pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, ini menunjukkan kemungkinan bahwa Kidung Sunda baru ditulis paling tidak sekitar abad ke-16, saat orang nusantara baru mengenal mesiu, kurang lebih dua abad dari era Hayam Wuruk.

Lebih menarik lagi adalah bahwa dalam Kidung Sunda ternyata tidak disebutkan nama raja Sunda, ratu/permaisuri, dan putri raja. Diduga nama Maharaja Prabu Linggabuana dan nama putri Dyah Pitaloka Citraresmi sengaja diambil karena bertepatan pada tahun-tahun 1360an tersebut dia memang merupakan raja Sunda dan putrinya.

Perlu di perhatikan pula bahwa catatan peristiwa Perang Bubat tidak terdapat di dalam kitab utama peninggalan Majapahit, Negarakretagama, yang notabene ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada). Adalah hampir tidak mungkin jika peristiwa besar sekaliber Perang Bubat dan belum lama terjadi tidak tercatat dalam kitab itu. Hanya disebutkan bahwa desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.

Sebenarnya peristiwa bubat ini adalah upaya daripada devide et impera yang dilancarkan oleh para penjajah belanda yang kemudia di kembangkan dan dilestarikan kembali oleh penjajah bangsa Nusnatara yang bernama Indonesia saat ini, bersama dengan penguasa Negara kesatuan republic Indonesia, devide et impera terus dilestarikan, hukum belanda yang merupakan produk hokum pemjajah untuk melestarikan penjajahannya juga terus dilestarikan Perlu dikemukakan bahwa sang penulis Kidung Sunda (yang belum diketahui orangnya) lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya.

Sepertinya kita perlu curiga bahwa cerita tentang Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah fiksi belaka dan merupakan rekayasa dari pihak penjajah (Belanda ?) untuk tujuan perpecahan antar suku di pulau Jawa. Bisa jadi syair tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas perintah penguasa kolonial. Hal ini perlu adanya kajian yang lebih mendalam.Akibat yang fatal yang telah dirasakan oleh bangsa kita atas rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah adanya sikap etnosentrisme orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif orang Sunda terhadap tokoh/figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat ini mungkin tidak ditemukan nama jalan; Gajah Mada).

Semoga bangsa kita tetap bersatu dan tidak ada lagi rasa sentimen kesukuan. Karena sikap etnosentrisme tidak lain adalah hasil dari rekayasa politik pemecah belah si penjajah.Sejarah tak bisa ditutup-tutupi, apalagi dihilangkan. Sedalam apapun dipendam, bahkan dikubur sekalipun, suatu saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan diri ke permukaan sebagai pengakuan kebenaran. Salah satu peristiwa lama yang selama ini terpendam adalah menyangkut Perang Bubat cerita tentang perang tersebut tidak dilengkapi data akurat.Buktinya penggalian purbakala di Trowulan dan di lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu.Bubat dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di sana terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda.



Pusat Kerajaan Majapahit pun berbeda dengan anggap-an awam selama ini yang membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok tinggi sebagai benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang berbentuk segi empat. lokasi Bubat bukan sebagai pusat kerajaan Majapahit, di sekitar Bubat diperkirakan sebagai lingkungan yang padat penduduk. Seharusya jika terjadi peperangan, tentulah diketahui oleh masyarakat sekitar. Kalaupun terjadi pertempuran, barangkali bukan pertempuran besar. Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar belum pernah mendatangi langsung tempat yang disebut-sebut sebagai lokasi pecahnya Perang Bubat "Menurut informasi, lapangan Bubat itu sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi tempat bertempumya pasukan-pasukan zaman dulu," katanya.

Bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang berarti jalan yang lega dan lapang.biasanya pada sebuah situs peperangan ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang. Misalnya ditemukan tombak dan keris yang berceceran.Nmun pada peristiwa Bubat ini, sanagt miskin bukti arkeologi. Bahkan bisa dibilang, belum ada bukti arkeologinya. Peristiwa sejarah akan lebih dipercaya jika mempunyai bukti-bukti arkeologi. Apalagi kalau sampai ada prasasti yang menerangkannya, tidak akan bisa dibantah.

Bukti arkeologi akan memperkuat bukti sejarah yang berupa naskah-naskah kuno. Naskah kuno biasanya sudah melalui proses penyalinan berkali-kali sehingga memungkinkan adanya perubahan dari naskah aslinya Tetapi setidaknya terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja. "Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah ada," katanya.Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, penulis buku Nusantara. Sejarah Indonesia, menyebutkan bahwa lokasi Bubat yang diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah lapangan besar di sebelah utara Trowulan, ibu) kota Majapahit.



DI kalangan masyara-kat Sunda, peristiwa Bubat yang lebih sering disebut

Perang Bubat, bisa dijumpai dalam beberapa naskah kuno yang ditulis hampir

dua abad setelah peristiwanya terjadi. Naskah-naskah itu antara lain

Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.

Sebaliknya, naskah Nagarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca sama

sekali tidak menyinggung peristiwa tersebut.



Naskah-naskah kuno itu banyak dijadikan acuan dalam menulis Sejarah Jawa

Barat. Salah satu di antaranya buku "Sejarah Jawa Barat" yang ditulis

wartawan dan budayawan Drs. Yoseph Iskandar. Di sana, Yoseph melukiskan

peristiwa itu secara mengharukan.Lewat "Pararaton" dan Pustaka Nusantara II/2 yang diambil dari naskah Wangsakerta terjemahan Drs. Saleh Danasasmita (alm), peristiwa itu bisa

dituturkan kembali sebagai berikut: "Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda

di Bubat. Sri Prabu ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus

mengundang orang Sunda. Maksudnya mengharap agar orang Sunda menikahkan

putrinya. Lalu raja Sunda datang di Majapahit. Sang ratu Maharaja tidak

bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan

(jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang

Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia

menganggap rajaputri sebagai upeti".



Karena merasa terhina, Raja Sunda dan rombongannya menolak permintaan

tersebut. Apalagi Kerajaan Sunda bukan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raja

Sunda merasa sejajar dengan Majapahit, sehingga akhirnya terjadilah Perang

Bubat pada hari Selasa-Wage sebelum te-ngah hari, tanggal 13 bagian terang

bulan Badra tahun 1279 Saka.



Orang Sunda sebenarnya cukup lama bersabar menanti peng-akuan dari para

penulis sejarah di luar Jawa Barat dalam menyikapi peristiwa Perang Bubat.

Jika memang terjadi, mengapa hanya para penulis sejarah dari Jawa Barat saja

yang mengangkat peristiwa itu sebagai fakta sejarah.



Sebaliknya jika memang tidak pernah terjadi, bukan hanya ganjalan hubungan

emosional dua daerah yang bertetangga yang bisa dihilangkan. Tetapi

bagian-bagian yang mengisahkan peristiwa tersebut dalam naskah-naskah kuno

di atas, patut dikesampingkan atau bahkan diabaikan karena dianggap

menyesatkan. Namun jika benar kandungan naskah kuno tersebut, mengapa kita

harus malu dan kemudian berusaha menutup aib seseorang yang selama itu

berambisi menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bukankah pepatah lama

mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak?"



Apalagi sejarah yang ditulis dengan jujur bukanlah untuk mempermalukan seseorang. Tetapi bisa merupakan cermin untuk generasi berikutnya, sehingga tidak mengulang kekeliruan atau kesalahan yang sama. Dalam buku-buku sejarah yang ditulis oleh pengarang dari luar Jawa Barat, paling tidak terdapat dua buku yang memuat Perang Bubat menurut versi masing-masing.Peristiwa itu menjadi bagian dalam buku "Peperangan Kerajaan di Nusantara" (Penelusuran Kepustakaan Sejarah) yang ditulis Capt. R.P. Suyono (Grasindo, 2003: 18). Suyono tidak menyebut peristiwa itu sebagai peperangan, namun dianggap sebagai "perkelahian". Padahal, katanya sendiri, dalam peristiwa itu, Raja Sunda dan seluruh pengiringnya tewas. Putri Sunda dibawa paksa ke Majapahit, namun tak lama kemudian meninggal.



Menjadi pertanyaan, jika dianggap "perkelahian" saja, mungkinkah mengakibatkan banyak orang tewas? Kalau perkelahian kan paling tidak hanya mengakibatkan luka kecil, benjol-benjol atau benjut. Paling tidak, tangan atau kakinya terkilir.Perkelahian sangat berbeda dengan perang. Perkelahian, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1996) berasal dari kata "kelahi". Berkelahi artinya mengadu tenaga, berhantam, bertinju, mengadu buku jari. Sebaliknya, "perang" artinya pertempuran dengan senjata antara dua negara, perkelahian besar antara dua kelompok orang, perlawanan yang sungguh-sungguh. Yang tak kalah menariknya adalah buku sejarah terbaru yang memberi tempat cukup panjang untuk Perang Bubat, "Jejak Nasionalisme Gajah Mada-Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru" yang ditulis oleh Dr. Purwadi M.Hum (DIVA Press, Jogjakarta, Agustus 2004). Kajiannya mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih dan sekaligus tokoh sentral yang mengantarkan puncak kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara.

Sebagian besar perluasan wilayah kekuasaan itu berhasil diraih berkat peperangan. Namun tidak demikian halnya dengan Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah bagian barat Pulau Jawa. Purwadi secara terang-terangan mengungkapkan upaya Gajah Mada melalui tipu muslihat sehingga pada tahun 1357 bisa mendatangkan Sri Baduga dan para pembesar Sunda ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan Bubat. Mengutip dasar tulisannya dari Kidung Sundayana, buku setebal 270 halaman itu, sembilan halaman dalam Bab VIII, Sumpah Palapa Gajah Mada Sebagai Politik Integrasi Nasional, bagian ini mengangkat hubungan dengan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang. Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi.

Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang berwarna merah. Tanda-tanda buruk itu rupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.

Namun apakah yang terjadi kemudian. Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi akan "dihadiahkan" kepada Sang Raja. Sebaliknya Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan "dipinang" oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan ketegangan itu akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Pasundan yang bernama Patih Anakepan mencela dengan keras sikap Gajah Mada. Bahkan ia mengingatkan adanya bantuan Pasundan yang tidak sedikit kepada Majapahit ketika menaklukkan Bali.

Purwadi menuturkan, sebelum ada keputusan sidang mahkota, Gajah Mada mendahului menyerang di sebelah utara kota Majapahit. Maka peperangan pun tak terhindarkan. Para kstaria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang ialah Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya, dan banyak lagi. Namun karena tujuan mereka bukan untuk berperang, maka hasil akhir peperangan itu sudah bisa ditebak. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Sang Prabu Maharaja gugur lebih dulu, jatuh bersama Tuan Usus. Namun peperangan masih belum berakhir.Para ksatria Sunda lainnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, namun mereka terdesak dan akhirnya gugur. Pada halaman 173, Purwadi menggambarkan korban akibat peperangan tersebut secara dramatis: "Darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan". Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka sembilan kuda sayap bumi, atau tahun 1279.Prabu Maharaja yang gugur di Bubat sebagaimana diungkapkan naskah-naskah kuno di Sunda, memerintah selama tujuh tahun (1279-1357 M). Ia dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana, sehingga kematiannya yang tragis selalu dikenang.

Untuk mengisi kekosongan, selama enam tahun dari tahun 1357-1363 M, tampuk kekuasaan kerajaan berada di bawah perwalian Hyang Bunisora karena putra mahkota Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu masih berusia di bawah umur. Setelah itu, Prabu Niskala Wastu Kancana memerintah dalam kurun waktu cukup lama, yakni selama 104 tahun, dari tahun 1363-1467. Ia dikenal juga sebagai Prabu Wangi yang menurut sumber-sumber prasasti, pernah memerintah dan meninggal di Kawali/Galuh. Ia memerintah dengan adil, sehingga mengantarkan kerajaan pada kebesaran dan kejayaan.

Hayam Wuruk yang merasa sangat menyesal dengan terjadinya Perang Bubat, ternyata tetap menepati janjinya tidak menyerang Kerajaan Sunda. Bahkan sampai akhirnya masa keemasannya makin suram dan kemudian Majapahit mengalami kehancuran



beberapa data yang patut dikaji ulang mengenai peristiwa Bubat
1. Kidung Sunda,
Bahwa ketika melihat Dyah Pitaloka mati, Hayam Wuruk sedih hatinya dan tak lama setelah itu maka Hayam Wuruk meninggal dunia, yang menjadi pertanyaan adalah jika setelah beberapa saat peristiwa Lapangan Bubat Raja Hayam Wuruk mangkat maka pada usia berapa tahun Hayam Wuruk memiliki anak yaitu Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana, andai saja kidung itu benar seharusnya akan ada masa kekosongan posisi Raja Majapahit karena putri Kusumawardhani masih kecil dan ini tentunya akan jauh lebih heboh.
Disebutkan bahwa utusan Majapahit ke Sunda hanya menempuh waktu 6 hari dengan menggunakan kapal, jika menggunakan kapal besar kemungkinannya melalui sungai brantas, sementara sungai brantas bermuara di selat surabaya berarti jauh sekali, jika melalui laut selatan mungkinkah? lantas benarkah kejadian tersebut!

2. simulasi angka tahun sejarah(data diambil dari wikipedia)
- 1334 Hayam Wuruk lahir (ditandai dengan gempa besar di prabanyu pindah)
- 1351 peristiwa lapangan Bubat berarti usia Hayam Wuruk 17 tahun(1351-1334=17)
- 1365 dalam negara krtagama Kusumawardhani sudah menikah dengan Wikramawardhana, jadi usia Kusuma wardhani pada saat peristiwa bubat adalah kurang dari 14 tahun(1365-1351=14), dan usia Hayam Wuruk adalah 31 tahun (1365-1334=31)
- 1377 Hayam Wuruk menyerang palembang sebagai penundukan atas Sriwijaya, usia Hayam Wuruk 43 tahun (1377-1334=43)
- 1389 Hayam Wuruk Meninggal di usia 55 tahun(1389-1334=55) dan wikramawardhana menjadi raja
jika hal di atas benar maka benarkah kutipan dalam pararaton menyebut bahwa Hayam Wuruk meninggal setelah peristiwa bubat karena kesedihan atas meninggalnya Dyah Pitaloka, karena berdasar data tersebut Hayam Wuruk meninggal 38 tahun setelah peristiwa Bubat!!

Senin, 16 Oktober 2017

CUPLIKAN DARI SEJARAH IBU MAJAPAHIT NUSANTARA




Pada tahun Isaka 1203 (1281 M) dari negeri Cina datang dua orang putri Raja Ming / Miao Li (yang dikenal dengan Mauliwarma Dewa) keturunan Thong (Raja Miao Ciang) / Raja Li, Kerajaan Ming artinya Sinar / Surya,wilayah Cina waktu itu / Campa / Melayu (sekarang Malaya) Singapura atau Tumasek hingga laut Cina Selatan (Nan Hay). Belakangan berhasil di satukan Madjapahit dan Cina di kuasai dinasty Cing / Ming karena Mongol / Khan sudah runtuh, makanya kita disebut bangsa “INDO-CINA” yang jadi cikal bakal bangsa Indonesia.jadi orang yang tinggal di daratan Cina hingga ujung selatan (Melayu) disebut orang Indo-Cina . Daratan Cina ke utara bernama “Mantjupai”. Madjapahit pun simbolnya Surya / Sinar , sedangkan simbol Raja adalah Macan putih. Dua Putri Raja Ming / Miao LI tersebut datang lengkap dengan dayang-dayang, pengawal ,para suhu dan lain-lain, kedua putri tersebut adalah “ Dara Jingga “ dan adiknya “ Dara Petak ” (Putih), keadatangan Putri Cina ini pada jaman Kerajaan Singhasari yaitu pada masa pemerintahan Sri Kerthanegara / Bathara Siwa tahun isaka 1190-1214 atau tahun (1268-1292 Masehi). Putri Dara Petak bergelar “ Maheswari ” diperistri oleh Sri Jayabaya atau Prabu Brawijaya I / Bhre Wijaya / Raden Wijaya , Raja Madjapahit pertama yang juga bergelar “ Sri Kertha Rajasa Jaya Wisnu Wardana ” pada tahun isaka 1216-1231 atau tahun (1294-1309 Masehi) yang selanjutnya menurunkan Prethi Santana / keturunan bernama “ Kala Gemet ” yang menjadi Raja Madjapahit kedua pada tahun 1309-1328 M, yang bergelar “ Jaya Negara ”. Sedangkan Putri Dara Jingga yang bergelar ‘’ Indreswari’’ atau Li Yu Lan atau Sri Tinuhanengpura (yang dituakan di Pura Singosari dan Madjapahit) diperistri oleh Sri Jayasabha yang bergelar “ Sri Wilatikta Brahmaraja I ” atau “ Hyang Wisesa “ . Gelar Li adalah dari Raja Tong “ Li Ti “ (Li Wang Ti) yang mengirim Putri Macan Putih ke Kahuripan, Sri Jayasabha adalah pembesar Singosari dengan pangkat “ Maha Menteri ” . Putri Dara Jingga dalam lontar dikenal, yang berbunyi “ Dara Jingga arabi Dewa Sang Bathara Adwaya Brahma “ yang selanjutnya menurunkan putra sebanyak enam orang laki-laki yaitu :


1- Sri Cakradara,( Suami dari Tri Buwana Tunggadewi Jayawisnuwardani )
2- Arya Dhamar, yang disebut juga dengan Arya Teja alias Kiyayi Nala atau Adityawarman,( yang ditugaskan bersama Gajah Mada menaklukan Bali dan  Lombok )  
3-Arya Kenceng, ( Menjadi Raja Tabanan )
4-Arya Kuthawaringin, 
5-Arya Sentong 
6-Arya Pudak yang kemudian menjadi Penguasa / Raja Di Bali.

 Juga disebutkan dalam kitab Cina Yin Yai Sin Land dan lontar Madjapahit bahwa pada pemerintahan Jaya Negara (Raja Madjapahit Kedua), Arya Damar (Adityawarman) yang masih saudara raja diutus sebagai wakil Madjapahit ke negeri Cina (1325 M), demikian juga pada masa pemerintahan Sri Tribuana Tungga Dewi , Arya Dhamar diberi gelar “ Arya Dewa Raja Pu Aditya ” ditulis pada prasasti Blitar (1331 M) dan oleh Ratu Tri Buana Arya Damar/Kyai Nala/Adhitiyawarman diutus kembali ke negeri Cina pada tahun 1332 M. Di Cina Arya Damar/Kyai Nala/Adhitiyawarman  di terima oleh kaisar Cing Wang (Raja Cing) dan di akui sebagai Sekiya Li Yu Lan / keturunan Putri Raja Li yang bernama Yulan,di Cina Dinasty yang sudah berusia 2500 tahun ini sangat disegani karena Raja Dinasty Li adalah termasuk Kerajaan Pemersatu yang disebut Kerajaan THANG / TONG yang menghasilkan Dewi Kwan Im / Avalokitesvara dan di puja seantero dunia termasuk Madjapahit, Dinasty Li ini tersebar di Indo Cina termasuk Perdana Menteri Singapura yang terkenal Li Kwan Yu jadi gelar Li itu sangat hebat karena berarti Raja, Indonesia kurang memperhatikan sejarah / tulisan cina karena pada zaman Pemerintahan Orde Baru melarang tulisan cina bahkan sekolah yang berbau cina ditutup karena tulisan cina akan mengungkap sejarah bangsa Indonesia yang mempunyai budaya yang adi luhung pada zaman kerajaan Madjapahit yang mempersatukan Nusantara dan sistimnya di pakai oleh seluruh dunia dengan adanya bukti semua negara memilih perdana menteri untuk menjalankan pemerintahan

HUBUNGAN DARAH ANTARA SUNDA GALUH & MAJAPAHIT



Hubungan darah antara Sunda, Galuh, dan Majapahit kami jelaskan sebagai berikut :

Raja Singhasari yang berkuasa pada waktu itu, Prabu Wisnuwardhana, mengawinkan Jayadharma dengan salah seorang kemenakannya yang bernama Dewi Singhamurti atau Dyah Lembu Tal, anak Mahisa Campaka. Dari perkawinan itu lahirlah Sang Nararya Sanggramawijaya atau Raden Wijaya yang kelak mendirikan kerajaan Majapahit.

Jayadharma, ayah Raden Wijaya, adalah kakak kandung Prabu Ragasuci, keduanya adalah putra Prabu Guru Dharmasiksa atau Sanghyang Wisnu yang bergelar Sang Paramartha Mahapurusa (memerintah kerajaan Sunda selama 122 tahun antara 1175—1297 masehi). Jayadharma adalah putra mahkota, namun wafat sebelum menjadi raja. Maka seandainya Jayadharma tidak mati muda, kemungkinan besar yang menjadi raja Sunda selanjutnya adalah Raden Wijaya. Sepeninggal Jayadharma, Raden Wijaya bersama ibundanya, Dyah Lembu Tal, diboyong kembali ke Singhasari.

Hubungan perkerabatan Sunda – Singhasari diperkuat lagi dengan pernikahan Dara Kencana anak Prabu Ragasuci (yang berarti adalah sepupu Raden Wijaya dari pihak ayah) dengan raja Singhasari berikutnya, yakni Kertanegara (yang adalah paman Raden Wijaya dari pihak ibu).

Ketika Wijaya menjadi raja Majapahit yang pertama, kakeknya, Sang Prabu Guru Dharmasiksa, sempat memberinya seberkas nasehat, yakni agar jangan sampai mempunyai niat untuk menyerang, apalagi menaklukkan kerajaan Sunda karena dua kerajaan itu sungguh-sungguh adalah bersaudara, dan bahwasanya Majapahit dan Sunda hendaklah saling bahu membahu, tolong-menolong, serta mempererat silaturrahmi.

CUPLIKAN BABAD ARYA TABANAN & RATU TABANAN TENTANG KYAI NALA





Dalam Alih Aksara  Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan bagian 2-1 Babad Arya Tabanan bagian 3b  disebutkan :

Mwah walian kang kata nguni ,ri kaprityaksan ikang ksatriya nemangsanak,mapa iwiryan,Sang maka pangarep ,kan apanengeran Raden Cakradara,antyan ta listwayu,paripurna swabania,dibya guna widya wicaksana sulaksana tan kapingginggan ring sarwa tatwa, sudira widagdeng pran,sira a panilih inatep ing swaymbara manggeh maskawinira Sang Raja Dewi Bra Wilwatikta kaping trini, ri telasaning awiwaha abiseka sira Sri Kreta Wardana.

Kunang kang kaping rwa akweh pangeranira Sirarya Damar, Arya Teja mwah Kyai Nala,samangkana pasamodyaning namanira, Diaksa pwanggehira antyanta wak bajranira,kesari padanira ring kasudiran.

Sang kaping 3 apeneleh Siraya Kenceng subaga ring kawirosan, wiarga padanya ring kawiran.

Kang kaping 4 Sirarya Kuta Waringin,kaping 5 Sirarya Sentong , mwah kaping 6 Sirarya Belong prasama sira widagdeng niti, iwir Gandawardana  patranira, pada ambahudanda sira Sang Arya kalima ri talampaken sukunira Sri Maharaja Dewi Wilwatikta.

Terjemahan bebas

"Kembali diceritakan lagi, tentang para ksatria enam bersaudara itu, bagaimana keadaannya ?. Yang sulung bernama Raden Cakradara, alangkah tampan dan sempurna wajahnya, tinggi ilmunya, cerdas dan bijaksana, bajik prilakunya, banyak pengetahuannya, pemberani dan mahir dalam pertempuran. Di dalam sayembara beliau terpilih untuk dijadikan suami oleh sang raja putri Bra Wilwatikta ( raja Majapahit ) yang ketiga. Setelah menikah beliau bergelar Sri Kerta Wardana. Adapun yang kedua banyak nama beliau, Sirarya Damar, Arya Teja, Kyayi Nala. Demikian jumlah namanya. Jabatannya 'Dyaksa', perintahnya selalu ditaati, bagaikan singa keberanian beliau. Yang ketiga bernama Sirarya Kenceng, terkenal tentang keganasannya, keberaniannya ibarat harimau. Yang keempat Sirarya Kuta Waringin. Yang kelima Sirarya Sentong, Serta yang keenam Sirarya Belog, semuanya itu pandai bersilat lidah, bagaikan kelompok gandara prilaku mereka. Kelima para arya itu menjadi pejabat penting ( bahudanda ) mengabdikan diri dibawah Sri Maha Rajadewi Wilatikta ( Majapahit )".
Kembali diceritakan lagi, tentang para ksatria enam bersaudara itu, bagaimana keadaannya ?. Yang sulung bernama Raden Cakradara, alangkah tampan dan sempurna wajahnya, tinggi ilmunya, cerdas dan bijaksana, bajik prilakunya, banyak pengetahuannya, pemberani dan mahir dalam pertempuran. Di dalam sayembara beliau terpilih untuk dijadikan suami oleh sang raja putri Bra Wilwatikta ( raja Majapahit ) yang ketiga. Setelah menikah beliau bergelar Sri Kerta Wardana. Adapun yang kedua banyak nama beliau, Sirarya Damar, Arya Teja, Raden Dilah, Kyayi Nala. Demikian jumlah namanya. Jabatannya 'Dyaksa', perintahnya selalu ditaati, bagaikan singa keberanian beliau. Yang ketiga bernama Sirarya Kenceng, terkenal tentang keganasannya, keberaniannya ibarat harimau. Yang keempat Sirarya Kuta Waringin. Yang kelima Sirarya Sentong, Serta yang keenam Sirarya Belog, semuanya itu pandai bersilat lidah, bagaikan kelompok gandara prilaku mereka. Kelima para arya itu menjadi pejabat penting ( bahudanda ) mengabdikan diri dibawah Sri Maha Rajadewi Wilatikta ( Majapahit )

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Kembali diceritakan lagi, tentang para ksatria enam bersaudara itu, bagaimana keadaannya ?. Yang sulung bernama Raden Cakradara, alangkah tampan dan sempurna wajahnya, tinggi ilmunya, cerdas dan bijaksana, bajik prilakunya, banyak pengetahuannya, pemberani dan mahir dalam pertempuran. Di dalam sayembara beliau terpilih untuk dijadikan suami oleh sang raja putri Bra Wilwatikta ( raja Majapahit ) yang ketiga. Setelah menikah beliau bergelar Sri Kerta Wardana. Adapun yang kedua banyak nama beliau, Sirarya Damar, Arya Teja, Raden Dilah, Kyayi Nala. Demikian jumlah namanya. Jabatannya 'Dyaksa', perintahnya selalu ditaati, bagaikan singa keberanian beliau. Yang ketiga bernama Sirarya Kenceng, terkenal tentang keganasannya, keberaniannya ibarat harimau. Yang keempat Sirarya Kuta Waringin. Yang kelima Sirarya Sentong, Serta yang keenam Sirarya Belog, semuanya itu pandai bersilat lidah, bagaikan kelompok gandara prilaku mereka. Kelima para arya itu menjadi pejabat penting ( bahudanda ) mengabdikan diri dibawah Sri Maha Rajadewi Wilatikta ( Majapahit )

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Kembali diceritakan lagi, tentang para ksatria enam bersaudara itu, bagaimana keadaannya ?. Yang sulung bernama Raden Cakradara, alangkah tampan dan sempurna wajahnya, tinggi ilmunya, cerdas dan bijaksana, bajik prilakunya, banyak pengetahuannya, pemberani dan mahir dalam pertempuran. Di dalam sayembara beliau terpilih untuk dijadikan suami oleh sang raja putri Bra Wilwatikta ( raja Majapahit ) yang ketiga. Setelah menikah beliau bergelar Sri Kerta Wardana. Adapun yang kedua banyak nama beliau, Sirarya Damar, Arya Teja, Raden Dilah, Kyayi Nala. Demikian jumlah namanya. Jabatannya 'Dyaksa', perintahnya selalu ditaati, bagaikan singa keberanian beliau. Yang ketiga bernama Sirarya Kenceng, terkenal tentang keganasannya, keberaniannya ibarat harimau. Yang keempat Sirarya Kuta Waringin. Yang kelima Sirarya Sentong, Serta yang keenam Sirarya Belog, semuanya itu pandai bersilat lidah, bagaikan kelompok gandara prilaku mereka. Kelima para arya itu menjadi pejabat penting ( bahudanda ) mengabdikan diri dibawah Sri Maha Rajadewi Wilatikta ( Majapahit )

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Kembali diceritakan lagi, tentang para ksatria enam bersaudara itu, bagaimana keadaannya ?. Yang sulung bernama Raden Cakradara, alangkah tampan dan sempurna wajahnya, tinggi ilmunya, cerdas dan bijaksana, bajik prilakunya, banyak pengetahuannya, pemberani dan mahir dalam pertempuran. Di dalam sayembara beliau terpilih untuk dijadikan suami oleh sang raja putri Bra Wilwatikta ( raja Majapahit ) yang ketiga. Setelah menikah beliau bergelar Sri Kerta Wardana. Adapun yang kedua banyak nama beliau, Sirarya Damar, Arya Teja, Raden Dilah, Kyayi Nala. Demikian jumlah namanya. Jabatannya 'Dyaksa', perintahnya selalu ditaati, bagaikan singa keberanian beliau. Yang ketiga bernama Sirarya Kenceng, terkenal tentang keganasannya, keberaniannya ibarat harimau. Yang keempat Sirarya Kuta Waringin. Yang kelima Sirarya Sentong, Serta yang keenam Sirarya Belog, semuanya itu pandai bersilat lidah, bagaikan kelompok gandara prilaku mereka. Kelima para arya itu menjadi pejabat penting ( bahudanda ) mengabdikan diri dibawah Sri Maha Rajadewi Wilatikta ( Majapahit )

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Dengan melihat cuplikan Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, maka seperti apa disebut dalam Babad Arya Kenceng Tabanan, bahwa ke 6 putra dari Adwaya Brahma yaitu putra sulungnya yaitu Arya Cakradara yang dinikahkan dengan Dewi Wilwatikta yaitu Tri Buwana Tunggadewi Jayawisnuwardani,dan dari pernikahan tersebut maka lahirlah Hayam Wuruk.

Sedangkan putra ke 2 dari Adwaya Brahma adalah Arya Damar atau Arya Teja yang kenal dengan lain pada babad Arya Kenceng dan babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan dengan nama " Kyai Nala " yaitu nama lain dari Adhitiyawarman.Kyai Nala / Adhitiyawarman pada tahun 1342 M bersama Gajah Mada ditugaskan menaklukkan Bedahulu dan Lo Gajah di Bali,dan setelah Bali takluk,maka Kyai Nala dan Gajah Mada mengangkat Arya Kenceng yang merupakan adik kandung Kyai Nala/ Adhitiyawarman menjadi Raja Tabanan,Dan salah seorang putra Kyai Nala menjadi patih Samprangan .

Pada tahun 1343 M Kyai Nala melanjutkan menaklukan Gurun, Sukun,Lombok Mirah dan Sasak di Pulau Lombok,dan setelah Lombok ditaklukkan,maka Kyai Nala/ Adhitiyawaman menjadikan seorang putranya menjadi Bhatara di Lombok yang bernama Bhatara Tunggul Nala.